Secangkir Kahfee (4): Tegukan Awal Surat yang Menakjubkan

Secangkir Kahfee (4): Tegukan Awal Surat yang Menakjubkan

IBNUSINASCHOOL– Pengetahuan keimanan yang ada pada manusia hari ini bisa jadi merupakan ilmu yang turun temurun dari bapak-ibu, dari kakek-neneknya.

Maka selayaknya ada pelacakan mandiri sebagai bentuk penguatan argumentatif. Bisa dengan mempelajari buku-buku dan kitab-kitab, atau berguru kepada para kiai, ustadz, dan expertise dalam hal agama. Ini bukan untuk menggugat kemanapanan teologis kita, melainkan melandasi keimanan kita dengan ilmu.

Pada ayat kelima, apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik merupakan spekulasi turun temurun tanpa landasan pengetahuan sama sekali. Bangunan argumentasinya lemah, bahkan mereka memanipulasi kebenaran dengan kebohongan. Mereka disinggung al-Quran dalam firman-Nya, Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka hanya mengatakan (sesuatu) kebohongan belaka” (QS Al-Kahfi [18]: 5)

Keadaan mereka tidak mempunyai pengetahuan sama sekali. Kata “bi” pada ayat ini Kembali kepada mereka yang mengatakan “Allah mengambil seorang anak”; dan kata “min” untuk menegaskan penegasian. Sedangkan faedah disebutkan kondisi ini bahwa kekafiran nenek moyang mereka sangat parah dan buruk. Bahkan mereka berkata dusta tanpa ada kecurigaan untuk menelisik kebenarannya. Maka disematkanlah pengetahuan sebab  pengetahuan seperti ditunjukkan dalam QS. Al-Mukmin [23]: 117, yang artinya “Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain selain Allah, padahal tidak ada suatu bukti pun baginya tentang itu, maka perhitungannya hanya pada Tuhannya. Sungguh orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.”

Kemudian dilanjutkan dengan kalimat “begitu pula dengan nenek moyang mereka” untuk mematahkan hujjah mereka, karena mereka mengatakan “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.” Artinya, jika nenek moyang mereka tidak memiliki argumentasi atas apa yang mereka ucapkan, maka mereka tidak memiliki kesesuaian untuk diikutinya.

Kata “kalimatan” ini berharakat fathah tanwin (nashab) sebagai pembeda (tamyiz), dengan ketentuan sebenarnya adalah “kaburati-l-kalimatu kalimatan”. Dikatakan pula “min kalimatin”, lalu dihapuskanlah “min” menjadi nashab atau fathah. Dengan demikian, alangkah buruknya (kaburat) kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka hanya mengatakan kebohongan belaka. Demikian keterangan dalam Tafsir al-Baghawi.

Selanjutnya, “Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (al-Quran) (QS. Al-Kahfi [18]: 6)

Berkaitan dengan ayat di atas, Ibnu Katsir menegaskan bahwa Allah swt. berfirman sebagai penghibur kesedihan Rasulullah saw. karena orang-orang musyirik jauh dan meninggalkan keimanan mereka sebagaimana juga termaktub dalam firman-Nya, “… Maka jangan engkau (Muhammad) biarkan dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. Fathir [35]: 8); atau firman-Nya, “… dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka… “ (QS. An-Nahl [16]: 127); juga dalam ayat “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu (dengan kesedihan), karena mereka (penduduk Mekkah) tidak beriman.” (QS. Asy-Syu’ara` [26]: 3)

Kata bakhi’ dalam ayat ini berarti menghancurkan diri sendiri dengan kesedihan mendalam karena keberpalingan orang-orang musyrik. Sedangkan kata asafa bermakna sedih atau marah. Dalam konteks ini, Qatadah mengatakan artinya menyakiti diri sendiri dengan marah dan sedih sebab keingkaran mereka.

Dalam pengertian,

janganlah bersedih hati, duhai Muhammad. Sampaikanlah saja risalah Allah swt. Maka, barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk Allah, sesungguhnya itu untuk keselamatan dirinya sendiri; dan barang siapa tersesat, maka sebenarnya kerugian itu bagi dirinya sendiri. Maka janganlah engkau, Muhammad, menenggelamkan dirimu dalam kebinasaan karena kesedihan terhadap mereka.

ولما كان النبي صلى الله عليه وسلم حريصا على هداية الخلق، ساعيا في ذلك أعظم السعي، فكان صلى الله عليه وسلم يفرح ويسر بهداية المهتدين، ويحزن ويأسف على المكذبين الضالين، شفقة منه صلى الله عليه وسلم عليهم، ورحمة بهم، أرشده الله أن لا يشغل نفسه بالأسف على هؤلاء، الذين لا يؤمنون بهذا القرآن، كما قال في الآية الأخرى: ﴿لعلك باخع نفسك أن لا يكونوا مؤمنين﴾ وقال ﴿فلا تذهب نفسك عليهم حسرات﴾ وهنا قال ﴿فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ﴾ أي: مهلكها، غما وأسفا عليهم، وذلك أن أجرك قد وجب على الله، وهؤلاء لو علم الله فيهم خيرا لهداهم، ولكنه علم أنهم لا يصلحون إلا للنار، فلذلك خذلهم، فلم يهتدوا، فإشغالك نفسك غما وأسفا عليهم، ليس فيه فائدة لك. وفي هذه الآية ونحوها عبرة، فإن المأمور بدعاء الخلق إلى الله، عليه التبليغ والسعي بكل سبب يوصل إلى الهداية، وسد طرق الضلال والغواية بغاية ما يمكنه، مع التوكل على الله في ذلك، فإن اهتدوا فبها ونعمت، وإلا فلا يحزن ولا يأسف، فإن ذلك مضعف للنفس، هادم للقوى، ليس فيه فائدة، بل يمضي على فعله الذي كلف به وتوجه إليه، وما عدا ذلك، فهو خارج عن قدرته، وإذا كان النبي صلى الله عليه وسلم يقول الله له: ﴿إنك لا تهدي من أحببت﴾ وموسى عليه السلام يقول: ﴿رب إني لا أملك إلا نفسي وأخي﴾ الآية، فمن عداهم من باب أولى وأحرى، قال تعالى: ﴿فذكر إنما أنت مذكر لست عليهم بمسيطر﴾