Ibnusinaschool.com–Selanjutnya, dua pria beriman yang bernama Yandrus dan Ronas, yang menyembunyikan keimanan mereka di istana Daqyanus bersepakat untuk menulis tentang para pemuda itu di atas papan timah; silsilah, nama-nama, dan kisah mereka. Lalu meletakkan papan itu di dalam sebuah peti dari tembaga, dan menyimpannya di suatu bangunan. Berharap Allah akan memperlihatkan para pemuda ini kepada kaum beriman sebelum hari Kiamat, agar yang menemukan kelak mengetahui kisah mereka saat membaca catatan tersebut. Setelah itu, mereka berdua pun meninggal. Begitu pula dengan Daqyanus dan bangsanya, serta banyak generasi setelahnya, sementara raja-raja yang memerintah silih berganti.
Tentang ciri-ciri para pemuda itu, Ubaid bin ‘Umair menyatakan bahwa para pemuda goa adalah pemuda-pemuda yang mengenakan kalung dan gelang, serta memiliki rambut yang panjang. Bersama mereka ada seekor anjing pemburu. Pada hari raya mereka pergi dengan mengenakan pakaian mewah dan iring-iringan besar, serta membawa berhala-berhala yang menjadi sesembahan. Namun, Allah telah menanamkan iman di hati para pemuda itu. Salah satu dari mereka berposisi sebagai menteri raja. Mereka beriman, tetapi menyembunyikan keimanan mereka, dan berpikir untuk meninggalkan negeri ini supaya tidak terkena hukuman karena dosa orang-orang itu.
Seorang dari mereka pergi hingga mencapai naungan sebuah pohon dan duduk di sana. Kemudian, yang lain keluar dan melihatnya duduk sendirian, berharap ia memiliki keyakinan yang sama tanpa menyatakannya. Mereka pun berkumpul di satu tempat, lalu salah satu dari mereka mengatakan, “Apa yang mengumpulkan kita?” Masing-masing dari mereka menyembunyikan keimanannya satu sama lain karena takut pada keselamatan dirinya.
Mereka saling berbicara satu per satu, dan ternyata semua memiliki keimanan yang sama. Lantas mereka pergi ke sebuah goa di gunung terdekat dan berkata, “Mari kita berlindung di dalam goa. Semoga Tuhan kita melimpahkan rahmat-Nya kepada kita.” Mereka pun masuk ke dalam goa bersama anjing pemburu, lalu tertidur selama tiga ratus tahun lebih sembilan tahun. Kaum mereka pun kehilangan jejak dan mencarinya, tetapi Allah mengaburkan jejaknya dan menyembunyikan goa mereka.
Orang-orang menulis nama-nama dan silsilah mereka di sebuah papan: “Fulan, Fulan, dan Fulan, putra-putra raja kami, hilang pada bulan ini, di tahun ini, di bawah pemerintahan Fulan bin Fulan.” Mereka menaruh papan itu di dalam lemari raja sembari berkata, “Suatu hari nanti, ini akan menjadi perkara penting.” Raja tersebut kemudian meninggal, diikuti generasi demi generasi setelahnya.
Wahb bin Munabbih berkisah, pada satu kesempatan seorang pengikut Isa as. datang ke kota para pemuda goa. Ia hendak masuk ke kota itu, tetapi diberitahu bahwa ada patung di pintu gerbangnya yang harus disembah oleh siapa pun yang ingin masuk. Ia pun enggan masuk, lalu pergi ke pemandian terdekat dan bekerja di sana. Pemilik pemandian melihat berkah di pemandiannya, dan tertarik pada pemuda-pemuda dari kota itu. Ia pun memberi tahu tentang langit, bumi, dan akhirat, hingga orang-orang beriman dan mempercayainya. Pemilik pemandian setuju dengannya, dan memberinya kebebasan beribadah di malam hari tanpa gangguan.
Akan tetapi, ketika putra raja membawa seorang wanita ke pemandian, pengikut Isa itu mencelanya, dan mengingatkannya tentang posisinya sebagai putra raja. Karena merasa malu, ia pergi, tetapi kembali lagi dan ditegur sekali lagi. Merasa tersinggung, ia menghina pengikut Isa tersebut, dan mengabaikannya, hingga keduanya mati di pemandian. Raja mendengar bahwa pemilik pemandian membunuh putranya, dan mencari pelakunya, tetapi tidak menemukannya karena sudah melarikan diri. Raja bertanya siapakah yang sering bersamanya, dan orang-orang pun menyebutkan para pemuda.
Para pemuda ini melarikan diri dari kota dan membawa seorang teman serta seekor anjing. Mereka bermalam di sebuah goa dan tertidur. Raja mencari mereka dengan pasukannya, tetapi ketika mereka menemukannya dan ingin masuk ke dalam goa, mereka dilanda rasa takut dan tidak dapat masuk. Salah satu dari mereka berkata, “Bukankah jika kamu menemukan mereka, kamu akan membunuh mereka?” Raja menjawab, “Benar.” Orang itu kemudian menyarankan untuk menutup pintu goa dan membiarkan mereka mati di dalamnya. Itulah yang mereka lakukan.
Berabad-abad berlalu setelah pintu goa disegel, hingga suatu hari seorang penggembala yang diguyur hujan berteduh di dekat goa, dan berpikir untuk membuka goa itu serta memasukkan domba-dombanya untuk berlindung dari hujan. Ia terus berusaha membuka goa itu hingga berhasil, dan Allah menghidupkan kembali para pemuda yang berada di dalamnya pada pagi berikutnya.
Muhammad bin Ishaq menceritakan, setelah itu seorang raja yang saleh bernama Bedros memerintah di negeri itu. Ia memerintah selama enam puluh delapan tahun. Selama masa pemerintahannya, orang-orang terpecah menjadi beberapa kelompok: ada yang beriman kepada Allah dan percaya bahwa kiamat adalah nyata, sementara yang lain menyangkalnya. Hal ini membuat raja yang saleh sangat sedih dan menangis, serta berdoa kepada Allah Swt. Memohon agar Allah menunjukkan kepada mereka tanda yang jelas. Allah yang Maha Penyayang kemudian mengarahkan hati seorang pria bernama Ulyanos untuk menghancurkan bangunan yang menutupi pintu goa, dan menggunakannya untuk membangun kandang bagi domba-dombanya.
Ketika Ulyanos dan dua pekerja membongkar batu itu, Allah mengembalikan nyawa para pemuda goa. Mereka terbangun, dan merasa seolah-olah mereka baru saja bangun dari tidur. Mereka mengira bahwa Daqyanus masih mencarinya. Selesai shalat, mereka menyuruh Malyaha, salah satu dari mereka, untuk pergi ke kota dan mencari tahu apa yang terjadi dengan mereka. Ketika Malyaha tiba di kota, ia melihat tanda-tanda agama “Islam” di sana, dan mendengar orang-orang menyebut nama Isa as. Ia pun menjadi bingung dan bertanya-tanya, apakah ini benar-benar kota yang sama. Akhirnya, ia mengetahui bahwa mereka telah tidur selama lebih dari tiga ratus tahun.
Lantas Malyaha menjelaskan kepada orang-orang bahwa mereka adalah para pemuda yang melarikan diri dari Daqyanus karena dipaksa menyembah berhala. Raja yang memerintah saat itu, yang beriman kepada Allah, menganggap ini sebagai tanda dari Allah. Lantas pergi bersama Malyaha untuk menemui teman-temannya di goa. Allah menjadikan para pemuda ini sebagai tanda bagi orang-orang bahwa kiamat itu nyata, dan bahwa Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya.
***
Bagian kisah ini dimulai dengan beberapa tokoh, yaitu Arius dan Astius, bersama dengan penduduk kota, baik tua maupun muda, semua pergi menuju goa tempat Ashabul Kahfi berada. Ketika para pemuda Ashabul Kahfi melihat bahwa Yemlikha—pada kisah di atas disebutkan dengan nama Tamlikha, salah satu dari mereka, belum kembali dengan makanan dan minuman seperti biasanya, mereka menyangka bahwa Yemlikha telah ditangkap dan dibawa ke hadapan raja mereka, Daqyanus.
Di tengah kekhawatirannya, tiba-tiba mereka mendengar suara dan derap kuda yang mendekat ke arah mereka, dan mengira itu adalah utusan dari raja zalim Daqyanus yang datang untuk menangkap mereka. Mereka pun bangkit dan berdoa. Saling berpamitan dan menasihati satu sama lain. Seorang di antara mereka berkata, “Mari kita pergi menemui saudara kita Yemlikha, yang saat ini mungkin sedang berada di hadapan raja zalim, menunggu kedatangan kita.” Sewaktu mereka berbincang-bincang dan duduk-duduk di dalam goa, tiba-tiba mereka melihat Arius dan orang-orangnya berdiri di pintu goa.
Yemlikha masuk terlebih dahulu sambil menangis. Melihat Yemlikha menangis, mereka pun menangis bersama. Kemudian bertanya kepada Yemlikha tentang apa yang terjadi, lalu ia menceritakan seluruh kejadiannya. Ketika itu, mereka menyadari bahwa mereka telah tidur selama berabad-abad atas kehendak Allah, lalu dibangkitkan sebagai tanda bukti kebenaran kebangkitan bagi manusia.
Arius mengikuti dan melihat sebuah peti tembaga yang tersegel dengan segel perak. Arius berdiri di pintu goa dan memanggil seorang pemimpin kota. Mereka membuka peti tersebut, dan menemukan dua papan timah yang tertulis di dalamnya: “Maksalmina, Miksalmina, Yemlikha, Martonus, Kashatonis, Yabronis, Dimos, Bitios, dan Halus adalah para pemuda yang melarikan diri dari raja mereka, Daqyanus, yang zalim, karena takut dipaksa meninggalkan agama mereka. Mereka masuk ke dalam goa ini. Ketika lokasi mereka ditemukan, raja memerintahkan agar goa tersebut ditutup dengan batu. Kami menulis kisah mereka agar dikenali oleh generasi yang akan datang saat mereka menemukan tempat ini.”
Setelah membaca tulisan tersebut, mereka kagum dan memuji Allah yang telah menunjukkan tanda kebangkitan melalui para pemuda ini. Lalu mereka masuk ke dalam goa dan menemukan para pemuda Ashabul Kahfi duduk dengan wajah yang bersinar, dan pakaiannya tidak mengalami kerusakan. Kemudian Arius dan orang-orangnya sujud memuji Allah yang telah menunjukkan kepada mereka salah satu tanda-Nya. Para pemuda itu pun menceritakan apa yang telah mereka alami dari raja Daqyanus, yang memaksa mereka menyembah berhala dan menyembunyikan iman mereka darinya, serta pelarian mereka ke dalam goa.
Lantas Arius dan orang-orangnya mengirim pesan kepada raja saleh, Biydros, agar segera datang melihat tanda dari Allah yang telah ditunjukkan dalam kerajaannya. Sebagai tanda bagi seluruh umat manusia tentang kebenaran kebangkitan. Ketika berita tersebut sampai kepada raja, ia merasa lega dan bersyukur kepada Allah. Raja segera pergi ke kota Efesus, dan penduduk kota menyambutnya. Ia pergi menuju goa bersama mereka.
Saat para pemuda Ashabul Kahfi melihat Biydros, mereka sangat gembira dan langsung sujud syukur. Biydros memeluk mereka sambil menangis, dan mereka duduk di hadapannya sambil memuji Allah. Para pemuda itu kemudian berpamitan kepada Biydros dan berdoa agar Allah menjaga imannya, serta menghindarkannya dari kejahatan manusia dan jin. Ketika raja berdiri, para pemuda kembali ke tempat tidur mereka dan Allah mengambil nyawa mereka. Raja kemudian memerintahkan agar dikenakan pakaian pada mereka, dan dimakamkan di peti emas.
Namun, pada malam harinya, mereka muncul dalam mimpi raja dan mengatakan, “Kami tidak diciptakan dari emas atau perak. Kami diciptakan dari tanah, dan ke tanah kami akan kembali. Biarkan kami sebagaimana kami sebelumnya. Di dalam goa di atas tanah, sampai Allah membangkitkan kami.” Akhirnya, raja memerintahkan agar mereka dimakamkan dalam peti kayu, dan dibangunkan sebuah masjid di pintu goa sebagai tempat beribadah. Dari peristiwa itu, setiap tahun diadakan sebuah perayaan besar untuk memperingati mereka.
***
Dalam kisah versi lain, ketika Yemlikha dibawa ke hadapan raja yang saleh, raja bertanya kepadanya, “Siapakah kamu?” Yemlikha menjawab, “Aku adalah salah seorang dari penduduk kota ini,” sembari menceritakan bahwa dia baru saja keluar dari kota itu kemarin atau beberapa hari yang lalu. Dia juga menyebut rumahnya dan orang-orang yang dikenal, tetapi tak ada satu pun yang mengenalinya.
Sang Raja pernah mendengar tentang sekelompok pemuda yang hilang di zaman dahulu. Nama-nama mereka tertulis di atas sebuah papan yang disimpan di dalam lemari besi. Raja pun memanggil untuk mengambil papan tersebut, dan ketika dia memeriksa nama-nama yang tercantum di situ, dia menemukan bahwa Yemlikha adalah salah satu dari mereka. Yemlikha juga menyebutkan nama-nama lainnya seraya berkata, “Mereka adalah sahabat-sahabatku.”
Ketika raja mendengar cerita ini, ia segera naik kuda bersama orang-orangnya. Ketika mereka tiba di pintu goa, Yemlikha berkata, “Biarkan aku masuk terlebih dahulu untuk memberitahu sahabat-sahabatku, sebab jika mereka melihat kalian bersamaku, mereka akan merasa ketakutan.” Yemlikha pun masuk ke dalam goa dan memberi kabar gembira kepada teman-temannya. Allah kemudian mengambil nyawa mereka dan menyembunyikan jejak mereka, sehingga tidak ada yang bisa menemukan mereka.
Inilah yang dimaksud dalam firman Allah Swt., “Tatkala pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua” (Qs. al-Kahfi [18]: 10), yaitu mereka pergi ke goa. Dikatakan bahwa seseorang berlindung ke suatu tempat, berarti ia menjadikannya sebagai tempat tinggalnya. Goa tersebut terletak di Gunung Benjilus, dan dikenal dengan “Khairam.”
Pada akhirnya, mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, berikanlah kami rahmat dari sisi-Mu.” Rahmat di sini bermakna petunjuk dalam agama. Ada juga yang mengatakan rahmat itu rezeki. Mereka juga berdoa, “Dan berilah kami petunjuk dalam urusan kami ini.” Maksudnya, berikanlah kami sesuatu yang dapat menyenangkan-Mu dan memberikan petunjuk bagi kami. Ibnu Abbas mengatakan bahwa “rasyadâ” (petunjuk) berarti jalan keluar dari goa dengan selamat. Wallauh a’lam
Sebelumnya:
Ngahfee Rabu Pagi: Kisah Ashabul Kahfi (2)