Kahfee Pagi: Kisah Ashabul Kahfi (I)

Kahfee Pagi: Kisah Ashabul Kahfi (I)

Ibnusinaschool.com–Para ahli tafsir berlainan pendapat tentang kisah Ashabul Kahfi. Sebagian mereka dengan mendasarkan pada riwayat yang shahih mengatakan bahwa kisah Ashabul Kahfi merupakan bagian dari kisah Israiliyat. Dalam arti, kisah ini tidak secara mendetail bersumber dari hadis atau cerita yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Kalapun ada kisah tentang Ashabul Kahfi, hal itu dianggap sebagai hadis dhaif, bahkan maudhu’. Salah satunya diungkap oleh Syekh Muhammad Amin as-Sinqithiy yang menegaskan bahwa kisah Ashabul Kahfi, nama-namanya, dan tempat di mana mereka berada semuanya tidak ada yang terbukti berasal dari Nabi Muhammad selain apa yang ada di dalam al-Qur’an. Demikian penjelasannya dalam Adhwâ’ al-Bayân fî Îdhâh al-Qur`ân bi al-Qur`ân.

Akan tetapi, di sini kami perlu mengetengahkan kisah tersebut sebagai bagian dari informasi dan referensi sejarah, dan bukan satu-satunya kebenaran yang harus diyakini. Ini sebagaimana isyarat Allah Swt. pada ayat sebelumnya bahwa kisah Ashabul Kahfi bukanlah satu-satunya keajaiban dan keanehan yang menakjubkan. Kisah dan realitas para pemuda goa ini hanya salah satu tanda keajaiban-Nya. Selain itu, untuk dapat diambil ibrah dan hikmah tentang kisah keteguhan keimanan para pemuda yang rela melarikan diri dari raja yang zalim dan kafir demi mempertahankan keyakinannya, sekaligus tentang kebenaran akan kebangkitan dalam Islam.    

Sebelum melangkah pada kisah, ada baiknya kita awali terlebih dahulu dengan tafsir ayat tersebut.

Allah Swt. berfirman,

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

 Ingatlah pada saat para pemuda itu berlari dan berlindung dalam sebuah gua untuk menyelamatkan diri dan kepercayaan mereka dari kesyirikan dan penindasan orang-orang yang menyekutukan Tuhan. Mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami ampunan dari sisi-Mu. Lindungi kami dari penindasan musuh-musuh, dan mudahkan jalan bagi kami menuju petunjuk dan perkenan-Mu.”

Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya, bahwasannya Allah Swt. menceritakan tentang para pemuda yang melarikan diri demi mempertahankan agamanya dari kaum mereka, agar tidak dipaksa meninggalkannya. Mereka melarikan diri dan berlindung di sebuah goa yang terletak di gunung untuk bersembunyi dari kaum mereka. Ketika mereka masuk ke dalam goa, mereka berdoa kepada Allah Swt. memohon rahmat dan perlindungan-Nya seraya berkata: “Ya Tuhan kami, berikanlah kami rahmat dari sisi-Mu.”

Seakan mereka memasuki pintu goa untuk berlindung seraya memanjatkan doa, “Anugerahkanlah kami rahmat dari sisi-Mu yang akan melindungi dan menyembunyikan kami dari kaum kami.” Mereka juga berdoa, “Dan berikanlah petunjuk yang benar dalam urusan kami.” Dalam arti, “Tentukanlah bagi kami petunjuk yang benar dalam urusan kami ini,” Dengan ungkapan lain, “Jadikanlah akhir dari urusan kami ini sebagai petunjuk yang benar.” Ini seperti disebutkan dalam sebuah hadis: “Apa pun yang telah Engkau takdirkan untuk kami, jadikanlah akhirnya sebagai petunjuk yang benar.” Sebagaimana doa Rasulullah Saw. yang bersumber dari hadis Bisr bin Abi Arthah, “Ya Allah, perbaikilah akhir urusan kami dalam segala hal, dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan azab akhirat.”

Kata idz dalam ayat ini merupakan bentuk dharf yang berfungsi sebagai objek dari kata kerja tersirat, yang berarti udzkur. Kata awâ yaitu fi’l madhi yang artinya: “seseorang berlindung ke tempat tinggalnya” dan menetap di dalamnya. Sedangkan kata al-fityah adalah bentuk jam’ al-qillah atau jamak sedikit (dalam hitungan 1-10) dari fatâ, yang mendeskripsikan seorang pemuda.

Ungkapan wa hayyi’ lanâ min amrinâ berasal dari kata at-tahyi’ah yang berarti mempersiapkan atau mempermudah urusan, sehingga tidak ada kesulitan atau kesukaran yang menyertainya. Dan maksud al-amr di sini adalah keadaan mereka yang meninggalkan keluarga dan rumah mereka, serta perpisahan mereka dari keyakinan sesat yang dianut oleh musuh-musuh mereka. Kata ar-rusyd merupakan petunjuk menuju jalan yang lurus dan tetap teguh di atasnya, lawan dari al-ghayy yang berarti kesesatan. Maka dikatakan rasyada fulân yarsyudu rusydan wa rasyâdan, ketika seseorang mengikuti kebenaran.

Dari penjelasan kebahasaan di atas, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menyimpulkan dalam tafsirnya dengan mengatakan, “Katakanlah, wahai Rasul yang mulia, kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran, ketika para pemuda itu meninggalkan tempat tinggal mereka. Meninggalkan segala sesuatu di belakang mereka demi menjaga keselamatan akidah mereka. Mereka pun berlindung ke dalam goa dan menjadikannya sebagai tempat tinggal, serta memohon dengan penuh kerendahan hati kepada Pencipta mereka seraya berkata: “Ya Tuhan kami, berikanlah kami rahmat dari sisi-Mu yang akan membimbing hati kami, memperbaiki urusan kami, dan menjauhkan kami dari fitnah-fitnah. Kami juga memohon kepada-Mu, ya Tuhan kami, agar Engkau mempersiapkan dan memudahkan urusan kami ini—pelarian kami untuk mempertahankan agama dan keteguhan kami dalam iman—agar semakin menambah kesesuaian dan keberhasilan dalam ketaatan kepada-Mu.”

***

Di dalam kitab Ma’alim at-Tanzîl atau yang poluler dikenal dengan Tafsir al-Baghawi karya Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad al-Farra ‘al-Baghawi dijelaskan secara mendetail mengenai kisah ini. Beliau menyandarkan kisah tersebut dari seorang sejarawan, Muhammad bin Ishaq. Sementara sumber riwayat di antaranya bersumber dari Ibnu Abbas ra., Ubaid bin ‘Umair, Ka’ab al-Akhbar, dan Wahb bin Munabbih.  

Muhammad bin Ishaq bin Yasar mengisahkan bahwasannya para penganut Injil (orang-orang Nasrani) mulai menyimpang. Dosa-dosa mereka semakin besar, dan para raja mereka bertindak tiran, hingga menyembah berhala dan mempersembahkan korban untuk dewa-dewa. Namun, masih ada sisa-sisa pengikut yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Isa yang menyembah Allah dan mengesakan-Nya.

Di antara para raja yang berlaku demikian adalah seorang raja Romawi yang dikenal dengan nama “Daqyanus [daqyânûs]” Dia menyembah berhala, mempersembahkan korban untuk dewa-dewa, dan membunuh siapa saja yang menentangnya. Dia mendatangi berbagai wilayah di Romawi, dan tidak meninggalkan seorang pun di wilayah yang didatanginya kecuali memaksanya menyembah berhala dan mempersembahkan korban untuk dewa-dewa, atau membunuhnya. Hingga suatu ketika ia pun tiba di kota tempat tinggal Ashabul Kahfi, yaitu “Ephesus [afsûs].” Kedatangannya di sana menjadikan orang-orang beriman dalam kondisi yang sangat berat. Mereka merasa takut padanya dan melarikan diri ke segala penjuru.

Setibanya di kota itu, Daqyanus langsung memerintahkan agar orang-orang beriman dikejar dan dikumpulkan. Dia mengangkat pasukan dari kaum kafir di kota itu untuk mengejar orang-orang beriman di tempat-tempat mereka, lalu menyerahkan mereka kepada Daqyanus. Ia pun memberikan mereka pilihan antara dibunuh atau menyembah berhala dan mempersembahkan korban untuk dewa-dewa. Di antara mereka, ada yang memilih untuk tetap hidup, dan ada yang menolak untuk menyembah selain Allah, lalu merelakan dirinya untuk dibunuh.

Para pemuda yang kuat iman kepada Allah itu menyaksikan orang-orang beriman menyerahkan diri mereka untuk disiksa dan dibunuh. Mereka dibunuh dan tubuhnya dipotong-potong, lalu bagian-bagian tubuh itu digantung di tembok kota dan di setiap pintu gerbang, hingga akhirnya fitnah itu pun semakin besar. Para pemuda itu dari golongan bangsawan Romawi yang berjumlah delapan orang.