ibnusinaschool.com-Jika kita pikirkan dengan akal-hati, kita dapati dalam perjalanan kehidupan manusia, Allah Swt. senantiasa memantaskan kita. Dari detik ke detik, jam ke jam, hari demi hari, dan seterusnya. Menyuapi kita dengan anugerah-Nya, menutupi aib-aib kita dengan rahmat-Nya, menyandangkan pakaian yang indah-indah, mengaruniakan kita kenyamanan; harta, benda, kedudukan, kesehatan, yang selalu gagal kita syukuri. Semua ini tak lain adalah hiasan yang tak habis-habisnya kita poles.
Di antara kita ada yang berhasil memanfaatkan hiasan-hiasan itu sebagai tangga menuju Allah, namun tak sedikit yang gagal akibat tak lihai membawanya meniti jalan kepada-Nya.
Oleh karena itu, Allah Swt. menyatakan dalam firman-Nya:
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا (٧) وَإِنَّا لَجٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا (8)
7. Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.
8. Dan Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah yang tandus lagi kering.” (QS. Al- Kahfi [18]: 7-8)
Allah swt. menyebutkan kata innâ dengan bentuk jamak atau kata ganti kita/ kami untuk menunjukkan keagungan-Nya. Bisa jadi seperti ketika seseorang menyampaikan sesuatu kepada orang lain dengan ungkapan “kami”, maka ini tak lazim kecuali dia mewakili suatu komunitas atau kelompok tertentu yang memiliki kewenangan dengan seperangkat kebesarannya; jabatan, reputasi, kedudukan, relasi, dll.
Dalam konteks al-Quran, Allah Swt. membahasakan diri-Nya demikian juga merupakan sebentuk pengagungan atas segala kekuasaan-Nya. Dengan ungkapan tanpa keraguan Allah menyingkapkan Diri sebagai yang menjadikan segala yang di bumi sebagai perhiasan bagi manusia untuk menguji, siapa di antara mereka yang mempunyai amalan terbaik. Namun di sisi lain, selain menjadikannya sebagai perhiasan, Allah pun menjadikan apa yang di atas bumi menjadi tanah tandus yang tak bisa ditanami.
Dalam Tanwîr al-Miqbas min Tafsîr ibn Abbâs dijelaskan bahwasannya Kami menjadikan apa yang di atas bumi dari tumbuh-tumbuhan, pepohonan, binatang melata, dan beragam kenikmatan sebagai perhiasan sekaligus bunga-bunga untuk bumi. Ini semua tak lain untuk menguji siapa yang paling zuhud dan meninggalkan dunia di antara manusia. Dan Kami pun akan mengubah bunga-bunga dunia menjadi tanah yang tandus tanpa tanaman sama sekali.
Al-Qurthubi menjelaskan seluk-beluk ayat ini. Pada ayat 7 di atas terdapat dua masalah: Pertama, ada dua objek (maf’ulâni) pada ayat ini, yaitu pada mâ dan zînah. Kata zînah berarti segala hal yang ada di permukaan bumi. Hal ini bersifat umum untuk menunjukkan penciptanya. Para ulama memiliki pengertian berlainan mengenai arti kata zînah. Misalnya, Ibnu Jubair dari Ibnu Abbas, zînah maksudnya para lelaki; Mujahid mengartikannya dengan al-khulafa` dan umara; Ibnu Abi Najih memahami kata zînah dalam ayat ini dengan ulama. Demikian juga ada yang memaknainya dengan beragam kenikmatan; pakaian, buah-buahan, sayu-mayur, dan air. Akan tetapi, secara umum maknanya segala ciptaan, buatan, dan akurasi dalam penciptaan Allah yang ada di permukaan bumi maka disebut sebagai zînah (perhiasan).
Selain itu, kedua, ayat ini sekaligus sebentuk penenang (Jawa: pengayem-ayem) bagi Rasul. Seakan menegaskan kembali: “Duhai Muhammad, janganlah kauhiraukan dunia dan penghuninya. Sejatinya Aku menciptakan semua itu sebagai ujian dan cobaan bagi mereka. Di antara mereka ada mentadabburi ciptaan Allah lalu beriman, sebagian ada yang kufur. Dan pada Hari Kiamat mereka akan mendapatkan sesuai dengan apa yang mereka perbuat. Engkau tak akan dimintai pertanggungjawaban atas kekafiran mereka.”
Artinya, ayat ini selaras dengan hadis Nabi saw.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian khalifah untuk mengelola apa yang ada di dalamnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat (mengelolanya). Maka, berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita, karena sesungguhnya fitnah pertama terjadi pada Bani Israel adalah karena wanita!” (HR. Muslim).
Masih dalam hadis yang bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah sesuatu yang akan dikeluarkan/ dihilangkan Allah untuk kalian berupa keindahan dunia.” Para sahabat bertanya, “Lantas apakah yang dimaksud dengan perhiasan dunia, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu keberkahan dan kemakmuran bumi…” (Hr. Muslim)
Adapun pada ayat 8, kata “jâ’ilun” berfungsi sebagai penyempurna kalimat, sekaligus menegaskan tentang kehancuran bumi. Kata tersebut berkedudukan sebagai pelaku (fa’il) yang menunjukkan aktivitas mendatang. Dengan ungkapan lain, Allah swt. akan menjadikan segala yang ada di permukaan bumi ini lenyap tanpa sisa kecuali hanya debu kering dan tandus yang tak dapat dijadikan tempat untuk kehidupan sebagai bentuk kehancuran bumi. Hal ini sebagaimana firman Allah swt., “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit…” (QS. Ibrahim [14]: 48)
Untuk kata sha’id meskipun masing-masing ahli tafsir memiliki makna yang berlainan, tetapi sebenarnya masih memberikan satu pengertian yang sama. Misalnya, Qatadah memaknainya dengan tanah tandus yang tidak dapat ditumbuhi pepohonan ataupun tumbuhan; Ibnu Zaid memahaminya dengan bumi yang tak terdapat apa pun di atasnya, seperti firman-Nya dalam QS. As-Sajdah [32]: 27. “Dan tidakkah mereka memperhatikan, bahwa Kami mengarahkan (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan (dengan air hujan itu) tanam-tanaman sehingga hewan-hewan ternak mereka dan mereka sendiri dapat makan darinya. Maka mengapa mereka tidak memperhatikan?” Sedangkan kata juruzâ bermakna tandus, sehingga kalimat sha’îdan juruzâ berarti tanah yang tak dapat ditumbuhi apa pun dan tidak bisa dimanfaatkan; segala yang ada di atasnya hancur dan rusak.
Kehidupan dengan ingar-bingarnya adalah pinjaman sekaligus anugerah Allah swt. Kita bersyukur diberi kesempatan untuk hidup di dunia; mengecap, mencerap, menghirup nafas-nafas bumi. Kita pun bersyukur dengan anugerah di dalamnya; makan, minum, sandang, papan, serta kelayakan yang tak terkira. Dan kita pun bersyukur dengan anugerah surga jika kita mampu menjalani kehidupan dunia sebagaimana adanya. Kehancuran bumi ada apa yang ada di dalamnya merupakan keniscayaan. Sementara neraka, itu tak lain bagi mereka yang menyimpang dari jalan syukur kepada-Nya.
Selayaknya kita bangga dan bersyukur atas karunia Allah. Senantiasa berproses dan progresif dalam urusan dunia sebagai jembatan menuju akhirat. Dunia dan keindahannya harus dinikmati dengan lapisan kesalehan dan ketakwaan. Akhirat yang terjal dan berkelok harus ditopang dengan kekuatan duniawi sebagai ekspresi kesyukuran kepada Sang Maha Pemberi Karunia. Maka Berhenti pada ketakwaan tanpa mempertimbangkan sisi duniawi adalah kebodohan, sedangkan berlarut dalam urusan duniawi tanpa pertimbangan tindakan ukhrawi adalah sebentuk kesesatan yang nyata. Wallahu a’lam