Ibnusinaschool.com– Sakit. Suatu keadaan yang paling dihindari banyak orang, termasuk kita. Tak ada satu makhluk melata di alam semesta yang mau menerima tawaran kondisi ini.
Manusia mengumpulkan sejumlah uang untuk mempertahankan kesehatan. Makan enak dan bergizi, mengonsumsi multivitamin, menjaga kebugaran dengan berolah raga. Semua dilakukan agar tidak sakit dan tetap sehat.
Akan tetapi, kesehatan dan kesakitan seperti dua mata uang yang tak terpisahkan. Sejalan seiring. Kesehatan dan gaya hidup sehat yang selama ini kita jaga, namun si sakit tetap saja bertandang. Melumpuhkan sendi-sendi hari-hari kita. Menembus batasan takdir yang tak dapat dielakkan. Kita pun sakit.
Di dalam sebuah syair yang masyhur dikatakan, “Kesehatan adalah mahkota di atas kepala orang-orang yang sehat. Tak ada yang dapat merasakannya melainkan orang-orang yang sakit.”
Deretan kalimat ini mengisyaratkan betapa kesehatan itu mahal harganya. Dan tak mampu merasakan nikmat kesehatan kecuali orang-orang yang sedang sakit.
Artinya, sakit itu merupakan satu fase di mana manusia diajarkan tidak hanya untuk bersabar, namun membaca penderitaan dengan bersyukur.
Nabi Ayub as. menjadi simbolisme kesabaran dalam menjalani rasa sakit selama hampir 18 tahun. Bahkan selama itu pula sang nabi tidak pernah sekalipun mengeluh dan mengadu kepada Allah swt.
Beliau menyadari betul bahwa nikmat sehatnya jauh lebih lama daripada sakitnya. Dalam dirinya terkumpul dua hikmah sekaligus: kesabaran dan kesyukuran.
Kesabaran yang akan membuahkan pahala yang sempurna tanpa batas (QS. Az-Zumar [39]: 10) Kesyukuran sebab bisa mendekat-merapat kepada Tuhannya.
Lebih jauh, di dalam kesabaran menahan derita sakit, kita pun diajarkan untuk bersyukur. Bagaimana tidak, di dalam sakitnya orang-orang mukmin tersembunyi banyak hikmah yang luar biasa.
Bisa jadi, ini pula isyarat dalam derita Nabi Ayub as. bahwa “Tidaklah ada kelelahan, sakit, kesedihan, kekhawatiran, gangguan dan kesusahan yang sangat yang diderita seorang muslim, bahkan sampai duri yang menancap di tubuhnya; melainkan Allah akan menjadikannya sebagai penggugur sebagian dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sakit kita sebagai seorang muslim bukanlah sakit biasa. Ini menjadi momen kedekatan antara hamba dan Allah. Helaan nafas yang tersengal, batuk, demam, atau bentuk sakit apa pun, mendorong kita untuk hanya mengadu kepada Allah.
Memberikan spirit keyakinan hanya Allah satu-satunya Dzat Pemberi Kesembuhan; memaksa kita melafalkan “Kalimat Haqq” yang tak pernah kita rapal saat sehat; menarik kita pada kedekatan tanpa jarak dengan Sang Penyembuh Hakiki.
Tak hanya itu, dalam kondisi sakit, kita pun selalu mengeja ke dalam hati kita. Bertanya tentang apa yang tak pernah terungkap dalam kondisi sehat. Kita menanyakan kenapa kita sakit; apa salah kita hingga diuji sedemikian rupa; mengapa harus kita, kenapa sekarang di tengah padatnya aktivitas kita.
Kita dipaksa diam, tak berdaya, lemah, tanpa tenaga. Kita hanya diberi nafas dan nurani untuk berdialog dengan kesejatian kita.
Kita diajak berselancar melihat kesakitan sebagai tahapan menuju kematian. Berjalan-jalan mengarungi cakrawala alam lain. Menggigil, keringat dingin bercucuran. Bangun tengah malam, di antara ketidaksadaran dan terjaga; melihat diri kita. Kita pun berangsur-angsur sehat kembali.
Saat itulah, kita berhasil melewati penderitaan tanpa keluhan. Bangkit sebagai pribadi yang baru, dan dia siap menghadang amal saleh kemudian. Hal ini selaras dengan firman Allah swt. dalam hadis qudsi, “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Jika Aku (Allah) memberikan cobaan (musibah) kepada hamba-Ku yang beriman sedang dia tidak mengeluh kepada orang yang mengunjunginya maka Aku akan melepaskannya dari ikatan-Ku (penyakit) kemudian Aku gantikan dengan daging yang lebih baik dari dagingnya, juga darah yang lebih baik dari darahnya. Kemudian dengan itu dia memulai amalnya (bagaikan bayi yang baru lahir).” (HR. al-Hakim)
Seperti nasihat Ibnul Qayyim al-Jauzi, “Jadikanlah sakitmu yang tidak ada yang mengetahui kecuali Allah, laiknya sedekah tersembunyi yang tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah.
Jadikanlah kesempitan di dadamu yang tak ada yang tahu kecuali Allah sebagai permohonan ampunan yang samar yang tidak yang tahu kecuali Allah.
Dan jadikanlah kegundahan hatimu yang tak ada yang tahu kecuali Allah menjelma dua rakaat yang tak ada yang melihatnya melainkan Allah swt.” Wallahu a’lam
*Tulisan ini telah dimuat di rubrik Cahaya Jumat Tribun Jogja.
Berikutnya:
Madrasah Ramadan