Dalam sebuah riwayat yang dikisahkan Aisyah Ra., Suatu ketika Al-Harits ibnu Hisyam ra. bertanya kepada Rasulullah Saw. seraya berkata:
عن عائشة أُمِّ المؤمنين رضي الله عنها أنَّ الحارثَ بن هشام رضي الله عنه سأل رسولَ الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسولَ الله، كيف يأْتِيكَ الوَحْيُ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أحْيانًا يَأْتِيني مِثْلَ صَلْصَلَة الجَرَس، وهو أَشدُّه عليَّ، فيَفْصِمُ عنِّي وقد وَعَيْتُ عنه ما قال، وأحيانًا يتمثَّلُ لي المَلَكُ رَجُلًا فيُكَلِّمُني فأَعِي ما يقول. قالت عائشة رضي الله عنها : ولقد رأيتُه ينزِل عليه الوَحْيُ في اليومِ الشديدِ البرْدِ، فيَفْصِمُ عنه وإنَّ جَبِينَه لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا
“Wahai Rasulullah, bagaimana caranya wahyu turun kepadamu?” Maka Rasulullah Saw. menjawab, “Terkadang wahyu datang kepadaku seperti suara gemerincing lonceng, dan itulah kondisi yang sangat berat bagiku, lalu terhenti, dan aku sudah memahami apa yang disampaikan. Dan terkadang datang malaikat menyerupai seorang laki-laki lalu berbicara kepadaku maka aku pun mengerti apa yang diucapkannya.” Aisyah ra. berkata, “Sungguh aku pernah melihat wahyu turun kepada beliau pada suatu hari yang sangat dingin, lalu terhenti, dan aku melihat dahi beliau mengucurkan keringat.” (Hr. Muttafaq ‘alaih)
Dalam kamus Lisân al-‘Arab wahyu berarti isyarat (al-isyârah), tulisan (al-kitâbah), pesan (ar-risâlah), inspirasi (al-ilhâm), dan percakapan secara tersembunyi; segala hal yang disampaikan kepada orang lain. Informasi yang disampaikan kepada seseorang yang bersifat cepat dan tersembunyi dari orang lain. Sedangkan dalam konteks syariat, wahyu bermakna pengajaran yang berasal dari Allah yang diberikan kepada para nabi, sehingga lebih khusus daripada makna bahasa karena sumbernya (Allah) dan penerimanya (para nabi).
Wahyu jenis ini berarti pengajaran melalui perantara malaikat, dan pengajaran langsung tanpa perantara malaikat. Keduanya bisa terjadi dalam keadaan sadar atau dalam mimpi yang benar (ru’ya ash-shâlihah). Pengajaran langsung bisa melalui inspirasi, yaitu penyampaian makna ke dalam jiwa, atau dengan berbicara dari balik tabir tanpa melihat. Sedangkan malaikat yang dimaksud adalah Jibril as.
Pengajaran melalui perantara malaikat memiliki beberapa bentuk:
- Nabi melihat malaikat saat menerima wahyu dan melihatnya dalam bentuk aslinya. Ini jarang terjadi.
- Nabi melihat malaikat saat menerima wahyu dan melihatnya dalam bentuk manusia.
- Nabi tidak melihat malaikat saat menerima wahyu, tetapi mendengar suara keras dan dering, sehingga mengalami kondisi spiritual yang tidak biasa. Ketika malaikat selesai menyampaikan pesan Tuhannya, nabi kembali ke keadaan normalnya.
Demikian penjelasan Muhammad Rasyid Ridha dalam Al-Wahyu Al-Muhammadiy.
Sementara maksud ungkapan Rasulullah Saw. “dan itulah kondisi yang sangat berat bagiku” menegaskan faedah dari kondisi mencekam dikarenakan adanya unsur yang memberatkan itu bertambahnya kedudukan dan meningginya derajat. Lalu Nabi menjelaskan perihal terputusnya wahyu, artinya malaikat Jibril as. menghilang atau pergi dari hadapan beliau. Bisa juga keadaan mencekam dan situasi yang membingungkan yang digambarkan dalam hadis tersebut telah selesai dan menghilang.
Adapun dalam menjelaskan perihal wahyu, al-Quran memberikan pengertian sebagai berikut, yaitu:
- Inspirasi fitrah (al-ilhâm al-fithriy): Seperti wahyu kepada ibunda Nabi Musa as., di mana Allah Swt. berfirman: “Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa: ‘Susuilah dia (Musa)’” (Qs. Al-Qashash [28]: 7)
- Isyarat cepat (al-Isyârah as-Sarî’ah): Yaitu wahyu kepada Zakariya as., ketika Allah Swt. berfirman: “Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu memberikan isyarat kepada mereka: ‘Bertasbihlah kalian di pagi dan petang hari.’” (Qs. Maryam [19]: 11)
- Inspirasi naluri (al-Ilhâm al-Gharîziy): Sebagaimana wahyu Allah Swt. kepada lebah dalam firman-Nya: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon, dan di tempat yang mereka dirikan.” (Qs. An-Nahl [16]: 68)
- Perintah Allah Swt. kepada malaikat (Amrullah ila al-malâikat): Allah Swt. berfirman: “Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman.’” (Qa. Al-Anfâl [8]: 12)
- Bisikan setan (waswasat asy-syaithân): Sebagaimana Allah Swt. berfirman: “Dan sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantahmu.’ (QS. Al-An’âm [6]: 121)
Berdasarkan pengalaman wahyu pertama ini, Rasulullah Saw. merasa bahwa proses pewahyuan paling berat melalui gemerincingnya lonceng. Proses memahaminya lebih sulit dan rumit daripada memahami ucapan seseorang. Sampai-sampai keringat Rasulullah keluar dan mengucur di dahinya karena beratnya beban yang diembannya. Wahyu yang tiba-tiba muncul di luar kebiasaan manusia itu membuat beliau terasa berat sebab kesulitan dan kepayahan yang dirasakannya. Demikian itu tak lain untuk menguji kesabarannya sehingga beliau benar-benar tekun dan serius dalam mengemban tugas kenabian.
Jika kita amati secara saksama, ucapan Nabi Muhammad kepada al-Harits menyisakan persoalan yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Di satu sisi, lahiriah hadis menyatakan bahwa wahyu datang seperti gemerincing lonceng. Di sisi lain, terdapat satu hadis yang diriwayatkan dari Imam Muslim bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Malaikat tidak akan menemani suatu kafilah yang di dalamnya ada anjing dan lonceng.” (Hr. Muslim).
Menjawab persoalan di atas, Abu Umar ibn Abdul Barr menyatakan argumentasinya bahwa “gemerincing lonceng” di dalam hadis ini yang beliau maksud adalah “seperti” suara lonceng. Artinya, dua hal yang disamakan belum tentu sama. Bahwa identik tidak selalu sama, dan “gemerincing lonceng” merupakan analogi, dan bukanlah hal yang sebenarnya.
Semua ini bergantung bagaimana subjek menjelaskan satu peristiwa kepada orang lain. Tentu akan mencari analogi yang paling sederhana yang bisa dipahami lawan bicaranya. Demikian ini pula disebutkan bagaimana Umar ra. menggambarkan apa yang terdengar di dekat Nabi Saw., ia berkata, “Bilamana wahyu turun kepada Rasulullah Saw. terdengar di dekat beliau suara berdengung seperti dengungan suara lebah.” (HR. An-Nasâ’i dalam As-Sunan al-Kubrâ)
Dalam hal ini, Ibnu Hajar menegaskan bahwa Umar menganalogikannya dengan dengungan suara lebah dilihat dari sisi orang-orang yang mendengarnya. Sementara Rasulullah Saw. menganalogikannya dengan gemerincing lonceng dilihat dari sisi beliau sendiri. Artinya, tidak terjadi kontradiksi pada kedua hadis di atas. Karena yang dimaksud dengan lonceng di dalam hadis ini adalah lonceng yang sebenarnya, sedangkan hadis sebelumnya, yang dimaksud hanyalah analogi.[]