IBNUSINASCHOOL– Baginya kematian itu lebih indah ketimbang memutus bacaan qurannya di tengah surat atau ayat. Kematian itu ibarat ajang perjumpaan bagi sang pecinta. Meski dia tidak mati. Bukan karena dia menantang maut, tapi karena asyik masyuk dalam—meminjam istilah Erich Fromm—konsepsi being. Suatu keadaan di mana seseorang melalui proses, aktivitas, dan gerak. Model pengalaman-pengalaman yang tak terdefinisikan. Sebuah capaian kebahagiaan melalui sebentuk pengorbanan.
Kali pertama Abbad masuk Islam di tangan Mush’ab bin Umair, seorang pendakwah dari Mekah ketika Islam mulai tersebar luas di Madinah. Saat itu, Abbad berusia 25 tahun. Tak berselang lama, keduanya kemudian semakin dekat akrab sebagai guru dan murid, sekaligus terikat oleh ikatan keimanan yang kukuh.
Dalam beberapa peperangan bersama Rasulullah, Abbad tak pernah absen. Dia bertugas sebagai pembawa al-Quran. Sebab, memang dia anak muda yang cerdas dan paham al-Quran. Belajar membaca Quran pertama-tama kepada Mush’ab, lalu aktif ikut dalam majelis Rasulullah sampai benar-benar paham dan menguasainya. Suaranya lantang dan merdu ketika membaca Quran.
Kesan ini direkam dalam ungkapan Nabi Saw. yang bertanya kepada Aisyah ra. saat mendengar bacaan Qurannya di sela-sela shalat tahajud beliau, “Suara siapakah ini?” Aisyah menjawab, “Abbad bin Bisyr, wahai Rasulullah.” Lalu Rasulullah saw. menukas dalam doa, “Semoga Allah menganugerahi ampunan (Allahummaghfir lahu)”.
Satu peristiwa heroik mencatat nama Abbad sebagai ksatria yang tak gentar dan kalap dengan panah dan tombak. Seperti Kenshin Himura yang terkenal sebagai Hitokiri Battousai dalam Trilogi Rerouni Kenshin. Menyerah kalah bukan jalan ksatria. Tetapi ketika kau menemukan keberanian menyerahkan hidupmu untuk seseorang, saat itulah kau memahami cinta. Dan Abbad ada di situ. Tak menyerah. Dia sedang menemui cintanya.
Sepulang dari Perang Dzatur Riqa, Rasulullah dan para sahabatnya bermalam dan mendirikan kemah di perbukitan. Perang Dzatur Riqa
merupakan pertempuran antara kaum Muslim dengan Bani Muharib, Bani Tsa’labah, dan Bani Ghathafan. Terjadi di Najd pada tahun ke-4 Hijriyah.
Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Siapakah yang berjaga malam ini?”
Abbad bin Basyar dan Amr bin Yasir menjawab, “Kami, Wahai Rasul.”
Kedua orang ini sudah dipersaudarakan oleh Rasulullah semenjak pertama kali kaum Muhajirin datang ke Madinah.
Ketika sampai di pos jaga, Abbad bertanya kepada Ammar, “Siapa yang berjaga terlebih dahulu?”
Sembari berjalan ke tempat peristirahatan, Ammar menjawab, “Aku yang tidur dulu,”
Malam itu begitu hening dan tenang. Angin berembus lirih, Abbad bersiap menggelar sajadah, mendirikan tahajudnya, dan mulai melantunkan ayat demi ayat dari surat al-Kahfi.
Surat yang indah. Tak sekadar susunan katanya, tetapi muatan kisah dan hikmah di dalamnya. Dimulai dengan pujian kepada kekasih, Allah swt. yang telah mengabarkan dengan al-Quran tentang konsekuensi menduakan-Nya. Tentang keteguhan tujuh pemuda dan binatang kesayangannya (anjing) yang melarikan diri raja yang lalim. Tentang perjumpaan kedua kekasih Allah, Musa dan Khidir. Tentang dua arus utama kebenaran dan kezaliman, Dzulkarnain serta Ya’juj dan Ma’juj.
Keindahan bacaannya membius, memilukan pendengarnya. Keteraturan rima dalam surat itu berpadu dengan nuansa historik mampu menciptakan kekuatan ekspresif, membangkitkan jiwa-jiwa lemah. Pilihan diksi yang sempurna menjadikan surat ini memiliki daya estetika dan musikalitas yang tinggi; bunyinya merdu dan iramanya sangat kuat.
Perlahan, tunduk, berbisik tipis, menyatakan cintanya kepada Tuhan. Ekspresi terdalam cintanya seperti bisikan Qais pada Laila yang tak terdengar telinga, namun terasa getarannya.
Cinta merasuk ke sanubari tanpa diundang.
Ia bagai ilham dari langit yang menerobos
bersemayam dalam jiwa kami
Dan kini, kami akan mati karena cinta asmara
Yang telah melilit seluruh jiwa.
Katakan padaku, siapa orang yang bisa bebas dari penyakit cinta?
Dalam keheningan dan kekhusyukan tahajudnya, seorang musuh menyelinap. Musuh itu yakin di tempat itu ada Rasulullah. Dan yang sedang shalat itu tak lain adalah sahabatnya yang berjaga.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, musuh itu langsung mengambil anak panah dan langsung menyasar ke tubuh Abbad. Dan, kena. Abbad pun mencabut anak panah itu. Dia, tetap tenggelam dalam shalat dan melanjutkan bacaannya.
Sekali lagi. Anak panah mengenai tubuhnya, dan dia tetap bergeming melanjutkan shalat dan bacaannya. Hingga kali ketiga, panah itu menembus tubuhnya. Abbad tetap melanjutkan shalat dan larut dalam bacaannya.
Untuk terakhir kalinya, Abbad roboh. Tapi belum mati. Seorang pemberani hanya mati sekali. Dia bukan pengecut yang mati berkali-kali sebelum ajal menjemputnya.
Dia merangkak mendekati saudaranya yang tengah tertidur, lalu membangunkannya. “Saudaraku, bangunlah. Aku terluka parah dan lemas.” Pinta Abbad
Ammar segera bangun dan menoleh ke arah Abbad. Sembari bergegas menolong dia berkata, “Subhanallah, kenapa engkau tidak segera membangunkanku saat anak panah pertama menembus tuhuhmu, saudaraku?”
Dengan suara berat dan terbata, Abbad menimpali, “Aku sedang membaca al-Quran dalam shalat. Aku tidak ingin memutus bacaanku hingga selesai. Demi Allah, jika tidak karena takut menyia-nyiakan tugas jaga yang dibebankan Rasulullah Saw. untuk menjaga pos perkemahan kaum Muslim, biarlah tubuhku putus daripada harus menghentikan bacaan al-Quran dalam shalat.”
Abbad bin Bisyr tidak sendiri. Para sahabat lain pun sama, memiliki ekspresi kecintaannya masing-masing. Bangunan kecintaan itu merayap ke dalam dada para sahabat. Terejawantah saat mereka bersentuhan dengan al-Quran. Mereka sangat menjiwai al-Quran. Tak sedikit di antara mereka yang menangis ketika melantunkan ayat-ayat al-Quran.
Ini bukan perasaan, namun lebih intens dibandingkan perasaan. Dalam definisi psikologis, Chaplin menjelaskan perubahan jasmaniah yang ditimbulkan emosi lebih jelas dibandingkan perasaan. Aspek-aspek emosi mencakup perasaan subjektif, dasar fisiologis perasaan emosional, pengaruh emosi terhadap persepsi, berpikir, dan perilaku. Termasuk kelengkapan motivasional tertentu, dan cara emosi ini ditunjukkan dalam bahasa, ekspresi wajah, dan gestur.
Dalam riwayat yang bersumber dari Abdullah bin Syaddad bin Had ra. dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Umar membaca surah Yusuf dalam shalat Subuh, dan aku mendengar isakannya. Aku berada di akhir saf. Isakan tangisnya saat beliau sedang membaca: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS Yusuf [12]:86)
Aisyah juga pernah menceritakan, “Abu Bakar adalah seorang lelaki yang mudah menangis. Beliau tidak mampu menahan air mata ketika membaca al-Quran” (HR. Bukhari).
Para sahabat dalam mencintai al-Quran seakan keluar dari kategorisasi Farid Esack yang membagi tiga kategori pembaca al-Quran; pecinta tak kritis (the uncritical lover), pecinta ilmiah (the scholarly lover), dan pecinta kritis (the critical lover). Kalaupun dimasukkan, mereka termasuk para pecinta ilmiah dan pecinta kritis.
Terbukti, sepeninggal Rasulullah para sahabat melakukan ragam ijtihad, yang itu merupakan bagian dari kekritisan mereka terhadap al-Quran. Mulai dari pengumpulan mushaf hingga menjadi satu kitab yang utuh, hingga ijtihad politik Abu Bakar; membentuk sebelas pasukan khusus, membangun Baitul mal. Pada masa Umar, misalnya; tentang hasil rampasan perang, pemotongan tangan pencuri, talak suami pada istri, dan pemberian zakat kepada muallaf.
Di satu sisi, mereka tertunduk patuh dan khusyuk di hadapan al-Quran. Membacanya dengan penghayatan total, dan mentadabburinya dengan sepenuh emosi. Di sisi lain, mereka melakukan ijtihad dan berpikir kritis agar al-Quran dan nilai-nilainya dapat terus langgeng dalam setiap keadaan dan waktu.
Lantas, bagaimana di mana posisi kita?
Sebelumnya:
Semaan Hafalan Qur’an