Secangkir Kahfee (1): Tegukan Awal Surat yang Menakjubkan

Secangkir Kahfee (1): Tegukan Awal Surat yang Menakjubkan

IBNUSINASCHOOL– Biasanya pada bulan Ramadan, tulisan seputar keutamaan Ramadan dan puasa sudah berlimpah. Hikmah-hikmah dan filosofi berkaitan dengannya pun dari tahun ke tahun begitu berjejal.

Untuk itu, saya memilih kajian dengan topik yang berbeda. Tulisan ini merupakan bagian dari buku yang sedang saya tulis yang belum terbit-terbit yang berjudul “Kahfee Morning: Meneguk Hikmah Surat Al-Kahfi dalam Secangkir Kopi.”

Sengaja akan saya ulas di sini dengan alasan; pertama, karena memang belum selesai; kedua, disebabkan kendala teknis—untuk tidak mengatakan kurang dananya. Selain itu, saat pagebluk melanda, utamanya di bulan Ramadan, tidak banyak undangan ceramah, dan memang saya bukan penceramah. Jadi, selain Ramadan pun tak ada undangan ceramah. Bisanya menulis. Maka, saya akan menuliskan ulasan Surat Al-Kahfi dalam tulisan bersambung.

***

Surat al-Kahfi termasuk surat Makiyah. Terdiri dari 110 ayat, dan menempati posisi ke-18 dalam urutan mushaf Utsmani. Kata “Kahfi” berarti goa, semacam rumah galian yang luas di atas gunung atau bukit. Sama-sama disebut goa, tapi kalau areanya lebih kecil biasanya digunakan kata “ghâr”, seperti goa Hira, seringnya dikatakan dalam kitab-kitab Sirah sebagai ghâr hira`. Namun jika lebih luas dikatakan kahf, dalam bentuk single, dan kuhuf dalam bentuk plural. Demikian keterangan dalam kamus al-Muhith.

Surat ini unik. Di dalamnya mengandung narasi yang mendemonstrasikan kemahabesaran Allah swt. Menunjukkan rahasia-rahasia tersembunyi yang tak mampu dijangkau nalar manusia; kosa semiotika dan keindahan Bahasa, ajaran dalam perjumpaan Nabi Musa dan Khidir as., sepenggal kisah Zulqarnain, dan masih banyak lagi.

Allah swt. Berfirman: 

“1) Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (al-Quran) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok; 2) sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik,” (QS. Al-Kahfi [18]: 1-2)

Ada hubungan menarik antara surat al-Isra` dengan surat al-Kahfi. Bukan saja karena surat ini berurutan, tetapi Allah swt. mengajarkan Rasulullah dengan dua kalimat terbaik, sebagaimana sabda beliau, “Subhanallah wa alhamdulillah”. Kalimat pertama mengawali surat al-Isra`, sedangkan kalimat kedua pembuka surat al-Kahfi. Tak hanya itu, kaitan itu juga dalam menutup surat al-Isra` dengan pujian “wa quli-l-hmadulillah…” satu ayat yang menyatakan bahwa pujian hanya milik Allah, sekaligus menegaskan Dia yang tidak mempunyai anak dan tidak (pula) sekutu dalam kerajaan-Nya. Tidak memerlukan penolong, dan perintah untuk selalu mengagungkan-Nya. Kemudian surat al-Kahfi pun dibuka dengan kalimat pujian, “alhamdulillah…”.

Kalimat “alhamdulillah…” saat ini lebih banyak menjadi ekspresi luar ketimbang penghayatan batin. Ketika seseorang mendapatkan nikmat duniawi, memeroleh uang, harta, benda, mobil, emas, berlian; kenaikan derajat dan pangkat, maka dipuncaki dengan ucapan, “alhamdulillah…”. Menarik nafas panjang sambil merapal kalimat tersebut setelah memeroleh nikmat; ketika mendapatkan bonus dan hadiah besar; saat lolos dari ujian untuk suatu tujuan material-duniawi. Karena itulah kalimat itu tercerabut dari esensi hakikinya. Tak lagi sakral. Padahal, kalimat “alhamdulillah…” merupakan pujian terhadap segala sifat-Nya secara sempurna. Anugerah dan kenikmatan-Nya, baik lahiriah yang tampak maupun yang tak tampak; dalam persoalan agama maupun duniawi.

Menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi dalam Khawatir Haula al-Quran, kata “alhamd” ini skupnya lebih luas dan umum, mencakup tsanâ, syukr, dan madh; sama-sama berarti pujian. Meski berdekatan, masing-masing memiliki makna khusus. Setiap kata ini mengandung pujian, kecuali syukr.  Kata syukr hanya digunakan untuk penerima nikmat atas karunia bagi dirinya sendiri. Sedangkan kata alhamd mencakup segala kenikmatan baik untuk kita atau yang lain. Dan kata madh terkadang merupakan pujian kita untuk sosok yang tak berdampak apa pun, seperti pujian keindahan fisik-ragawi yang membuatmu takjub. Adapun maksud kata “alhamdulillah” dengan didahului alif dan lam menunjukkan sesuatu yang melingkupi. Artinya, segala pujian mutlak milik Allah, termasuk pujian kepada segala sesuatu. Karena semua itu mengandung silsilah yang muaranya adalah pujian kepada Allah swt. Seperti ketika kita memuji seseorang yang berperangai baik kepada kita. Maka seakan-akan kita mengatakan, “Puja-puji bagi Allah yang telah menolong orang ini untuk berbuat baik kepada kita. Keindahan itu muncul dari perangainya, dan perangainya merupakan pemberian dari Allah sebagai Pencipta. Dan perangai yang kemudian berkesinambungan pada kita adalah nikmat pemberian Allah.” Demikianlah, jika kita urutkan ekspresi pujian (alhamd) kepada setiap manusia, maka kita akan mendapati bahwa pujian akan terkoneksi kepada pemberi nikmat pertama, yaitu Allah swt.