Seruput Kahfee Siang Hari: Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 6

Seruput Kahfee Siang Hari: Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 6

ibnusinaschool.com-Dengan gambaran kondisi kaumnya seperti tersurat pada ayat ke-5, sejatinya Nabi Muhammad Saw. sangat menginginkan agar orang-orang kafir Quraisy yang selama ini melakukan penentangan mendapatkan hidayah, bahkan terus berupaya dengan segala cara tanpa kenal lelah. Beliau merasa sangat gembira dan senang dengan hidayah yang diterima oleh orang-orang saleh, dan merasa sedih sekaligus menyesal terhadap mereka yang mendustakan dan tersesat. Hal ini didasari rasa kasih sayang yang mendalam pada umatnya dan kerahmatannya pada mereka.

Melihat hal demikian, Allah Swt. pun memberikan arahan agar tidak larut dalam kesedihan panjang. Dalam ayat lain, misalnya, Allah memberikan gambaran serupa, bahwa “Hampir saja kamu membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.” (Qs. Asy-Su’ara [26]: 3) Dan secara tegas Dia mengingatkan kekasih-Nya, “Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka.” (Qs. Fathir [35]: 8)

Pada ayat ini, Allah juga mengingatkan kekasih-Nya, Muhammad Saw. Allah Swt. berfirman:

“Maka boleh jadi kamu akan membinasakan dirimu karena kesedihan atas mereka,” (QS. Al-Kahfi [18]: 6)

Kata bakhi’ pada ayat ini berarti menghancurkan diri sendiri dengan kesedihan mendalam karena keberpalingan orang-orang musyrik. Sedangkan kata asafa bermakna sedih atau marah. Dalam konteks ini, Qatadah mengatakan bahwa artinya menyakiti diri sendiri dengan marah dan sedih sebab keingkaran mereka. Beliau Saw. merasa sedih dan menyesal atas mereka, padahal pahala dalam menyampaikan risalah telah dijamin oleh-Nya. Maka jika Allah mengetahui ada kebaikan pada mereka, tentu Dia akan memberi mereka petunjuk, namun Dia mengetahui bahwa mereka tidak layak kecuali untuk neraka. Oleh sebab itu, Dia membiarkan mereka tersesat dan tidak mendapatkan hidayah. Sehingga Allah mengabarkan melalui ayat ini bahwa melarutkan diri dengan perasaan sedih dan menyesal atas mereka tidak memberikan manfaat bagi beliau.

Seakan-akan Allah hendak mengatakan kepada yang terkasih, “Janganlah engkau bersedih hati, duhai Muhammad. Sampaikanlah saja risalah-Ku. Maka, barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk-Ku sesungguhnya itu untuk keselamatan dirinya sendiri; dan siapa saja yang tersesat, sebenarnya kerugian itu bagi dirinya sendiri. Karena itu, janganlah engkau, menenggelamkan dirimu dalam kebinasaan karena kesedihanmu terhadap mereka.”

Ibnu Katsir menegaskan bahwa firman Allah Swt. pada ayat ini sebagai penghibur kesedihan Rasulullah Saw. karena orang-orang musyrik jauh dan meninggalkan keimanan mereka sebagaimana juga termaktub dalam firman-Nya, “… Maka jangan engkau (Muhammad) biarkan dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. Fathir [35]: 8); atau firman-Nya, “… dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka… “ (QS. An-Nahl [16]: 127); juga dalam ayat “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu (dengan kesedihan), karena mereka (penduduk Mekkah) tidak beriman.” (QS. Asy-Syu’ara` [26]: 3)

Dalam ayat ini dan semacamnya, terdapat pelajaran dan hikmah yang mendalam tentang bagaimana seseorang mengajak dan berdakwah di jalan Allah Swt. Bahwa orang yang diperintahkan untuk mengajak manusia kepada Allah, tugas utamanya adalah menyampaikan dan berusaha dengan segala cara yang dapat ditempuh guna mengantarkan kepada hidayah, serta sebisa mungkin menutup jalan-jalan kesesatan, lalu bertawakal kepada-Nya. Termasuk tidak berhenti mendoakan keselamata terhadap objek dakwah.

Dalam hal ini, pertimbangan dan nalar kenabian Rasulullah Saw. yang diajarkan Allah Swt. tidak hanya mengharapkan ketaatan saat itu. Boleh jadi, jika mereka tidak menerima seruan hari, harapannya anak cucu mereka kelak yang menerimanya dan menjadi pejuan Muslim di kemudian hari. Sehingga jika mereka menolak saat ini, tidak perlu bersedih dan menyesal, karena kondisi demikian itu akan melemahkan jiwa, menghancurkan kekuatan, dan tidak ada manfaatnya. Sebaiknya beliau terus melakukan apa yang diperintahkan dan diarahkan kepadanya, dan selebihnya adalah di luar kemampuan kita.

Jika kepada Nabi Muhammad Saw. Allah berfirman: “Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi,” (Qs. Al-Qahahah [28]: 56) dan Nabi Musa as. berkata: “Ya Tuhanku, aku hanya menguasai diriku sendiri dan saudaraku,” (Qs. Al-Maidah [5]: 25) maka orang selain mereka lebih utama dan lebih patut untuk memahami hal ini. Allah berfirman: “Maka berilah peringatan, karena kamu hanyalah seorang pemberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Qs. Al-Ghasyiyah [88]: 21-22) Demikian simpulan Syekh as-Sa’di dalam Tafsirnya. Wallahu a’lam