IBNUSINASCHOOL– Ada lima awal surat yang diawali dengan kalimat “alhamdulillah…”. Masing-masing memiliki makna yang berbeda-beda. Pertama, kalimat alhamdulillah rabbil ‘alamin dalam QS. Al-Fatihah [1] ayat 2. Ayat ini dapat diartikan dengan “Segala puji bagi Allah; Tuhan semesta alam” Allah adalah Sang Pencipta dan Pelindung yang mendidik hamba-Nya. Dialah Tuhan bagi segenap alam.
Kedua, kalimat alhamdulillah dalam QS. Al-An’am [6]. Pada kalimat ini, Allah hendak mengajarkan ungkapan kesyukuran kepada-Nya yang telah menciptakan langit dan bumi, serta menjadikan gelap dan terang. Akan tetapi, orang-orang kafir masih saja mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lainnya.
Ketiga, kalimat alhamdulillah dalam QS. Al-Kahfi [18] seperti yang sedang kita bahas. Dalam hal ini, Allah swt. ingin menegaskan bahwa Dia tidak hanya mengatur aspek material saja, tetapi juga memberikan pendidikan yang jauh lebih utama, yaitu pendidikan ruhani.
Dengan mengutus seorang rasul yang membawa risalah yang lebih tinggi agar manusia mengetahui kebenaran, mengenal Tuhan dan agama. Juga supaya mereka tidak hanya berbuat untuk kehidupan duniawi-materi, tetapi juga kehidupan akhirat yang jauh lebih abadi.
Keempat, kalimat alhamdulillah dalam QS. Saba [34]. Pada ayat ini, Allah mengenalkan kuasa-Nya yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan segala puji di akhirat bagi Allah. Dialah Yang Mahabijaksana dan Mahateliti.
Kata terakhir pada ayat pertama yaitu al-Khabir seakan hendak menegaskan kemahatelitian Allah sebagai penguasa langit dan bumi. Berbeda jika yang digunakan kata bashir, meskipun sama-sama memiliki kedalaman makna, tetapi kata khabir untuk menunjukkan penglihatan dengan jangkauan yang luas dan lebih dalam.
Karena itulah, ayat berikutnya lebih tegas menjelaskan pengetahuan-Nya, “Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya.”
Kelima, kalimat alhamdulillah dalam QS. Fathir [35]. Pada ayat ini, selain menerangkan bahwa puji dan syukur hanyalah bagi-Nya, yang telah menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, Dia juga telah menugaskan malaikat menyampaikan wahyu kepada para nabi-Nya. Malaikat itu sejenis makhluk yang mempunyai sayap dua, tiga, atau empat, bahkan ada yang lebih dari itu.
Allah berkuasa menambah sayap para malaikat menurut kehendak-Nya, dan sesuai dengan keperluan. Sebagaimana diilustrasikan dalam hadis Nabi saw., “Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. melihat Malaikat Jibril pada malam Isra` dalam bentuk aslinya. Dia mempunyai enam ratus sayap. Antara dua sayapnya seperti sepanjang mata memandang ke timur dan barat.” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud)
Selanjutnya, Allah swt, memuji diri-Nya sendiri atas diturunkannya al-Quran kepada Rasulullah saw. Sebab ini merupakan kenikmatan Allah terbesar dan salah satu bentuk kenikmatan yang disegerakan. dengan petunjuk al-Quran dapat mengeluarkan manusia dari kesesatan menuju cahaya.
Dan Allah menjadikan kitab ini lurus, tidak bengkok, dan tidak pula lemas yang condong ke kanan dan ke kiri. Tetapi al-Quran menunjukkan manusia kepada kebenaran dan jalan yang lurus.
Adapun makna ‘iwaj yaitu perubahan suatu bentuk (jism) dari kondisinya yang lurus, atau lempang. Dalam konteks ini digunakan sebagai unsur majaz untuk mengungkapkan penyimpangan dari hakikat kebenaran dan kebaikan.
Sehingga dalam kesimpulannya, al-Maraghi menegaskan bahwa Allah swt. menurunkan kitab al-Quran ini kepada Nabinya secara benar-benar tegak lurus, tidak berseberangan, tanpa kontradiksi antarayat, dan tidak ada perbedaan.
Akan tetapi, satu ayat dengan ayat lain saling membenarkan, saling menguatkan. Tidak ada kecondongan, kebengkokan, dan menyimpang dari kebenaran (Tafsir al-Maraghi, juz. XV, hlm. 114-115).
Kalimat di atas ternyata tidak sesederhana yang kita lihat. Ada hal menarik untuk dikupas lebih jauh. Sebab ini nantinya berimbas kepada bacaan (qiraat). Al-Baghawi menuliskan bahwa ayat tersebut mengandung kata-kata yang harus didahulukan dan diakhirkan (taqdîm wa ta`khîr).
Secara gamblang bahwa Allah menurunkan al-Quran kepada hamba-Nya secara lurus (qayyiman), dan tidak menjadikannya bengkok (‘iwajan). Namun dalam keterangan Ibnu Qatadah tidak ada unsur taqdîm wa ta`khîr. Karena maknanya jelas, bahwa Allah menurunkan al-Quran kepada hamba-Nya tidak menjadikannya bengkok (‘iwaj), tetapi menjadikannya lurus dan tegak dan tidak kontradiktif.
Mungkin karena itu pula para ulama ahli qiraat perlu menambahkan tanda khusus berupa saktah supaya pembaca lebih berhati-hati ketika melintasi ayat ini. Akhir ayat ini merupakan contoh saktah alif perubahan dari tanwin. Saktah secara sederhana dapat dipahami dengan qath’u-l-kalimah min ghairi tanaffusin biniyyati-l-qiraah (menahan suara sejenak pada suatu kalimat tanpa bernafas, dengan niat melanjutkan bacaan) Sehingga cara membacanya: wa lam yaj’al lahû ‘iwajâ; menghilangkan tanwin diganti dengan fathah pada lafaz ‘iwaja, maka menjadi mad ‘iwadh dan dibaca dengan panjang dua harakat.
Setelah diam sejenak kira-kira dua harakat, kemudian dilanjutkan dengan lafaz setelahnya … qayyimal li yundzira. Ini untuk memisahkan dua lafaz agar tidak disangka satu lafaz. Artinya, lafaz ‘qayyima’ tidak bersambung dengan lafaz sebelumnya.
Sementara itu, hikmah adanya saktah dalam lafaz ‘iwaja untuk menepis kesalahpahaman bahwa lafaz qayyima yang bermakna lurus merupakan sifat/na’at dari lafaz ‘iwaja yang bermakna bengkok. Jika tanpa saktah, bisa jadi pendengar akan memahami makna yang dimaksud adalah “Dia tidak menjadikannya bengkok yang lurus.” Padahal makna yang dimaksud adalah “Dia menurunkan al-Quran sebagai bimbingan yang lurus yang tidak ada kebengkokan sedikitpun di dalamnya” Dalam susunannya bahwa qayyimanashab/fathah sebab amil fi’il dari lafaz anzala yang disimpan. Demikian keterangan Abu Muhammad Maki bin Abi Thalib. Wallahu a’lam