ibnusinaschool.com-Sebelum diutus menjadi nabi dan rasul, selain dikenal dengan sosoknya yang indah, juga masyhur sebagai pedagang sukses. Terbukti Muhammad muda telah banyak melakukan kegiatan bisnis, bahkan kegiatan ekspor dan impor hingga ke Negeri Syam dan Syiria. Kepribadiannya yang jujur telah masyhur sejak pertama kali terjun ke ranah ini , hingga mendapat sematan al-Amin (terpercaya), yang tak pernah pudar selamanya.
Mendekati masa turunnya wahyu Al-Quran, Muhammad mulai sering berkhalwat di gua Hira. Beliau ber-tahannuts, satu lelaku menjauhkan diri dari perbuatan dosa, yang kemudian berkembang menjadi proses penyucian diri terbaik, guna membangun jiwanya dengan asyik masyuk beribadah kepada Tuhan. Proses ini membutuhkan kesabaran tinggi karena harus menyendiri dan meninggalkan sanak famili selama beberapa hari, bahkan beberapa bulan.
Menjadi satu keniscayaan bahwa sebuah bejana yang akan menampung ‘air suci’ maka harus disucikan terlebih dahulu. Apalagi bejana itu akan menampung “Kalam Tuhan,” maka harus bersih dan benar-benar suci agar dapat menyimpan dan mengalirkan mata air ke segenap penjuru semesta. Ucapan, pendengaran, penglihatan; personifikasi, gestur, gaya bicara, sikap; pikiran, kecerdasan, mentalitas, dan hati.
Semuanya harus melalui screening ilahiah; peristiwa pembelahan dadanya sewaktu kecil yang didatangi dua malaikat untuk mencuci hatinya, dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki visi yang sama; sahabat-sahabat yang baik lagi saleh, dan lain sebagainya. Proses pembersihan dan penyucian ruhani yang akan memastikan perjalanan calon nabi dalam penjagaan alam malakuti. Sehingga kehidupan yang akan dijalaninya terbebas dari gangguan sampah-sampah zaman yang berserak di sekitarnya. Hingga bermuara pada pentahbisannya menjadi Nabi bagi seluruh alam.
***
Menjelang turunnya wahyu, tanda-tanda kenabian semakin benderang. Beberapa tanda di antaranya seperti ada sebuah batu atau pohon yang mengucapkan salam kepadanya, dan mimpi-mimpi yang tampak begitu nyata yang dikenal dengan ar-ru’yah ash-shalihah (mimpi yang baik) dan ar-ru’yah ash-shadiqah (mimpi yang benar); mimpi yang baik, indah, dan nyata.
Gambaran turunnya wahyu yang begitu nyata tampak dalam hadis panjang yang diriwayatkan Imam Bukhari bersumber dari Aisyah ra., ia mengisahkan:
“Pertama turunnya wahyu kepada Rasulullah Saw. melalui mimpi yang benar waktu beliau tidur. Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau, seperti jelasnya cuaca pagi. Sejak itulah, hati beliau tertarik untuk mengasingkan diri ke Gua Hira. Di situ beliau beribadah beberapa malam, tidak pulang ke rumah istrinya. Untuk itu beliau membawa perbekalan secukupnya. Setelah perbekalan habis, beliau kembali kepada Khadijah, untuk mengambil lagi perbekalan secukupnya.
Kemudian beliau kembali ke Gua Hira, hingga suatu ketika datang kebenaran (wahyu) kepadanya, sewaktu beliau masih berada di Gua Hira. Malaikat datang kepadanya, lalu berkata, ‘Bacalah’ Nabi menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’
Nabi menceritakan, “Maka aku ditarik dan dipeluknya hingga aku kepayahan. Lalu aku dilepaskannya dan disuruh membaca. Malaikat berkata ‘bacalah!,’ aku pun menjawab, ‘aku tak bisa membaca.’ Maka aku ditarik dan dipeluknya hingga kepayahan. Lalu aku dilepaskannya dan disuruh membaca lagi. ‘Bacalah!’ kujawab, ‘aku tidak bisa membaca.’ Maka aku ditarik dan dipeluk untuk ketiga kalinya. Kemudian aku dilepaskan seraya berkata ‘Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan. Yang menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Demi Tuhanmu yang Maha Mulia.’”
Setelah itu, Nabi pulang ke rumah Khadijah binti Khuwailid, lalu berkata, “Selimuti aku, selimuti aku!” Khadijah menyelimutinya hingga rasa takutnya hilang. Setelah ketakutannya hilang, Nabi berkata kepada Khadijah binti Khuwailid, “Sesungguhnya aku cemas atas diriku.” Khadijah menjawab, “Jangan takut. Demi Allah, Tuhan tidak akan membinasakan engkau. Engkau selalu menyambung tali persaudaraan, membantu orang yang sengsara, mengusahakan barang keperluan yang belum ada, memuliakan tamu, menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran.”
Selepas kejadian malam itu, Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin naufal bin Asad bin Abdul Uzza, putra paman Khadijah, yang telah memeluk agama Nasrani pada masa Jahiliyah itu. Ia seorang yang pandai menulis buku dalam bahasa Ibrani. Menyalin Kitab Injil dari bahasa Ibrani seberapa yang dikehendaki Allah dapat disalin. Dan kini sudah lanjut usia dan matanya telah buta.
Khadijah berkata kepada Waraqah, “wahai putra pamanku, dengarkanlah kisah dari anak saudaramu ini.” Waraqah bertanya kepada Nabi, “Wahai putra saudaraku, apa yang terjadi atas dirimu?” Nabi menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Waraqah berkata, “Inilah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga aku masih hidup ketika kau diusir oleh kaummu.” Nabi bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya, betul. Belum ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau yang tidak dimusuhi. Jika aku masih mendapati hari itu, niscaya aku akan menolongmu sekuat yang bisa kulakukan.” Tak selang berapa lama, Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus untuk sementara.
Nabi Muhammad bermimpi seakan menyaksikan fajar menyingsing (falaq ash-shubh), lalu keinginan untuk menyendiri semakin kuat. Keadaan semacam ini mulai dialami Nabi semenjak usia 39 tahun. Artinya, peristiwa ini tidak begitu saja terjadi, tetapi ada persiapan yang cukup panjang, sehingga ada kerinduan mendesak untuk melakukan hal yang sama di kemudian hari.
Begitu pula, penyampaian wahyu yang diawali dengan mimpi, menurut para ulama, ditujukan agar beliau tidak merasa dikejutkan oleh kedatangan malaikat yang memberitahukan kenabiannya secara mendadak, sebab wahyu merupakan perkara agung dan berat yang tidak dapat diemban oleh kekuatan manusia. Maka tidak layak bilamana dalam peristiwa kenabian yang begitu agung, sementara wahyu turun kepadanya saat beliau sedang sibuk dengan urusan bisnis atau perkara-perkara duniawi lainnya.
Adapun pengaruh psikologi yang ditimbulkan oleh pengalaman spiritual semacam ini, menurut Husein Mu’nis, mendorong seseorang untuk meninggalkan aktivitas-aktivitas yang tak berarti. Meski begitu, Nabi Muhammad tidak lantas meninggalkan dunia sosialnya sama sekali. Beliau tetap menjaga keseimbangan batin dan lahirnya demi misi insaniyahnya.
Beliau berkhalwat untuk mengasah batinnya. Uzlahnya ke gua Hira di atas bukit itu guna mempertajam dan memperluas spektrum visinya. Menjangkau pandangan dunianya yang tak lagi terbatasi sekat-sekat geografis. Sebuah pemandangan indah yang disaksikan Nabi sebagai pengetahuan emanasi spiritual yang membuat beliau lapang dada dan melihat kehidupan sangat indah ketika bangun dari tidurnya. Wallahu a’lam
Bersambung…